Senin,
22 agustus 2013
1988
Tahun 1988 adalah awal keterlibatanku di Pramuka. Waktu itu
aku baru saja masuk kelas 1 SMP, dan seorang teman sekelasku menawari aku untuk
ikut Pramuka. Sebelumnya aku pernah ikut latihan Pramuka waktu di SD. Ketika
itu menjadi Pramuka Siaga pada tahun 1984, lalu ikut "ekspedisi" ke
Gunung Kuweni, Sidoarjo, tahun 1986. Tetapi tidak ada yang menarik perhatianku
sama sekali.
Bagiku saat itu, Pramuka sangat tidak menyenangkan. Kamu harus berada bersama teman-temanmu yang tidak semua menyukai kamu. Pimpinan Regumu sangat berkuasa atas kamu dan kamu tidak dapat menggantinya. Dia pun bisa menyuruh-nyuruh kamu melakukan apa yang menurut dia perlu, dan Pembina? Pembina adalah "Yang Maha Kuasa" di mana kami hanya disuruh mengkuti perintahnya.
Kegiatannya pun tidak semenarik kegiatanku saat itu. Saat itu aku sangat suka melakukan semua sendiri, berpetualang sendiri, mengikuti cerita pada buku yang kubaca. Aku pernah mengumpulkan daun-daun untuk membuat arboretum. Aku juga memiliki buku taksonomiku sendiri. Aku juga suka memotret, dan memotret apapun yang kutemui. Semuanya aku kumpulkan dalam sebuah buku berdasarkan lokasi. Aku juga suka bersepeda, bertualang ke bagian-bagian terjauh atau bahkan pojok-pojok kecil di lingkungan rumahku di Sidoarjo. Aku pun membuat peta sendiri, Peta Slautan, kampung tempatku tinggal, lengkap dengan rumah-rumah, jalan-jalan tikus dan lokasi-lokasi penting. Sementara di Pramuka? Kamu hanya boleh melakukan yang dimaui oleh Pembinamu. Kamu tidak bisa menjejah sendiri. Semua harus berdasarkan titah Pembina.
Tapi, waktu itu aku tertarik dengan tempelan TKK serta TKU yang dimiliki temanku. Hanya karena ingin tahu maka aku menuruti undangannya, mengikuti latihan Pramukaku yang pertama di SMP itu. Dan itulah aku kemudian. Aku datang, ikut latihan, mendengarkan ceramah dari Pembina. Tapi yang ini berbeda, karena Pembina waktu itu (Kak Wisnu Wardhana Iskandar), memberi tahu tentang Tanda Kecakapan dan bagaimana mencapainya. Semakin tertarik, aku datang lagi bulan depannya. Tapi sayang. Kak Wisnu sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi, tanpa ada yang memberitahu kenapa, dan latihan pun diambil alih kakak-kakak senior kelas 3, bahkan yang sudah SMA, yang membentuk regu baru (pada pelatihan sebelumnya aku sudah membentuk regu, tapi pada pertemuan kedua kali itu, aku tidak lagi menemukan reguku kembali).
Dan pelatihanku yang kedua pun tidak begitu menarik. Aku membentuk regu bersama teman-teman yang "tersisihkan", kelompok yang "bodoh", dan aku pun entah mengapa dianggap bodoh. Dan kali itulah aku mendapatkan pengalaman burukku yang kedua kalinya di Pramuka.
Tampaknya Pramuka sangat otoriter dengan pendidikannya. Kalau tidak ada Pembina, maka Seniorlah yang sangat berkuasa menggantikan Pembina. Dan, tidak ada yang salah dengan Senior. Apa kata Senior adalah benar. Kalau Senior sampai salah, lihatlah aturan pertama (Senior selalu benar). Dan di situlah aku. Disuruh push up, lari-lari, dan Senior tampak senang sekali menghukum aku, mempush up aku sesuka mereka. Itulah saat terburuk bagiku.
Aku bertahan selama 3 bulan dengan kondisi seperti itu, dan selama itu aku belajar menghapalkan Dasa Darma, Tri Satya, Morse, dan tali-temali. Aku pun cepat sekali menghapalkannya. Selama 3 bulan menguasai semuanya. Dan tampaknya, pengetahuanku yang menonjol itu membuat para Senior dan teman-teman seangkatanku yang dekat dengan Senior menjadi tidak suka lalu mencoba menekanku sebisa mereka. Mereka menghalangiku ikut ujian SKU dan SKK, dan ada semacam Senior Kepala yang berusaha memberikan pertanyaan paling sulit (yaitu pertanyaan yang hanya dia saja yang tahu jawabannya) sehingga aku tidak lulus ujian.
Tapi aku tetap bertahan, karena ada tantangan yaitu membuktikan diri. Beruntunglah aku lahir sebagai anak tunggal sehingga terbiasa cuek dengan lingkungan sosial. Tindakan meremehkan dan diskriminatif yang aku terima sama sekali tidak mengganggu diriku karena aku cuek, sehingga aku tidak merasa tertekan. Tapi prestasi serta kejutan yang aku buat, sangat mengganggu mereka, dan reaksi merekalah yang membuat aku jadi tersanjung. That I can make them surprised.
Dan inilah tahun 1988. Aku mengalami pengalaman terburuk justru di saat aku pertama kali mengikuti latihan Pramuka. Sikap Pembina dan Senior yang otoriter, rantai komando yang tidak dapat ditolerir seperti halnya militer, dan pembelajaran disiplin yang justru mematikan logika. Aku masih ingat saat Seniorku membentakku: "Jangan berpikir! Kamu di sini tidak boleh berpikir! Kamu harus melakukan apa yang aku suruh lakukan!" Belum lagi sikap diskriminatif yang aku terima, bahwa aku "berada di luar lingkaran mereka", "tidak mau berpikir seperti mereka", atau "tampil beda", membuat aku diperlakukan tidak sama. Bila ada penugasan yang "menguntungkan", maka penugasan itu diambil oleh Senior dan orang-orang yang terdekat dengan lingkaran Senior. Bila tidak menguntungkan, maka aku yang disuruh. Penugasan yang menguntungkan adalah penugasan yang membuat pelaksananya jadi pahlawan kalau berhasil, atau dilihat semua orang karena pentingnya tugas itu.
Semua itu terjadi 25 tahun yang lalu.
Bagiku saat itu, Pramuka sangat tidak menyenangkan. Kamu harus berada bersama teman-temanmu yang tidak semua menyukai kamu. Pimpinan Regumu sangat berkuasa atas kamu dan kamu tidak dapat menggantinya. Dia pun bisa menyuruh-nyuruh kamu melakukan apa yang menurut dia perlu, dan Pembina? Pembina adalah "Yang Maha Kuasa" di mana kami hanya disuruh mengkuti perintahnya.
Kegiatannya pun tidak semenarik kegiatanku saat itu. Saat itu aku sangat suka melakukan semua sendiri, berpetualang sendiri, mengikuti cerita pada buku yang kubaca. Aku pernah mengumpulkan daun-daun untuk membuat arboretum. Aku juga memiliki buku taksonomiku sendiri. Aku juga suka memotret, dan memotret apapun yang kutemui. Semuanya aku kumpulkan dalam sebuah buku berdasarkan lokasi. Aku juga suka bersepeda, bertualang ke bagian-bagian terjauh atau bahkan pojok-pojok kecil di lingkungan rumahku di Sidoarjo. Aku pun membuat peta sendiri, Peta Slautan, kampung tempatku tinggal, lengkap dengan rumah-rumah, jalan-jalan tikus dan lokasi-lokasi penting. Sementara di Pramuka? Kamu hanya boleh melakukan yang dimaui oleh Pembinamu. Kamu tidak bisa menjejah sendiri. Semua harus berdasarkan titah Pembina.
Tapi, waktu itu aku tertarik dengan tempelan TKK serta TKU yang dimiliki temanku. Hanya karena ingin tahu maka aku menuruti undangannya, mengikuti latihan Pramukaku yang pertama di SMP itu. Dan itulah aku kemudian. Aku datang, ikut latihan, mendengarkan ceramah dari Pembina. Tapi yang ini berbeda, karena Pembina waktu itu (Kak Wisnu Wardhana Iskandar), memberi tahu tentang Tanda Kecakapan dan bagaimana mencapainya. Semakin tertarik, aku datang lagi bulan depannya. Tapi sayang. Kak Wisnu sudah tidak ada lagi. Dia sudah pergi, tanpa ada yang memberitahu kenapa, dan latihan pun diambil alih kakak-kakak senior kelas 3, bahkan yang sudah SMA, yang membentuk regu baru (pada pelatihan sebelumnya aku sudah membentuk regu, tapi pada pertemuan kedua kali itu, aku tidak lagi menemukan reguku kembali).
Dan pelatihanku yang kedua pun tidak begitu menarik. Aku membentuk regu bersama teman-teman yang "tersisihkan", kelompok yang "bodoh", dan aku pun entah mengapa dianggap bodoh. Dan kali itulah aku mendapatkan pengalaman burukku yang kedua kalinya di Pramuka.
Tampaknya Pramuka sangat otoriter dengan pendidikannya. Kalau tidak ada Pembina, maka Seniorlah yang sangat berkuasa menggantikan Pembina. Dan, tidak ada yang salah dengan Senior. Apa kata Senior adalah benar. Kalau Senior sampai salah, lihatlah aturan pertama (Senior selalu benar). Dan di situlah aku. Disuruh push up, lari-lari, dan Senior tampak senang sekali menghukum aku, mempush up aku sesuka mereka. Itulah saat terburuk bagiku.
Aku bertahan selama 3 bulan dengan kondisi seperti itu, dan selama itu aku belajar menghapalkan Dasa Darma, Tri Satya, Morse, dan tali-temali. Aku pun cepat sekali menghapalkannya. Selama 3 bulan menguasai semuanya. Dan tampaknya, pengetahuanku yang menonjol itu membuat para Senior dan teman-teman seangkatanku yang dekat dengan Senior menjadi tidak suka lalu mencoba menekanku sebisa mereka. Mereka menghalangiku ikut ujian SKU dan SKK, dan ada semacam Senior Kepala yang berusaha memberikan pertanyaan paling sulit (yaitu pertanyaan yang hanya dia saja yang tahu jawabannya) sehingga aku tidak lulus ujian.
Tapi aku tetap bertahan, karena ada tantangan yaitu membuktikan diri. Beruntunglah aku lahir sebagai anak tunggal sehingga terbiasa cuek dengan lingkungan sosial. Tindakan meremehkan dan diskriminatif yang aku terima sama sekali tidak mengganggu diriku karena aku cuek, sehingga aku tidak merasa tertekan. Tapi prestasi serta kejutan yang aku buat, sangat mengganggu mereka, dan reaksi merekalah yang membuat aku jadi tersanjung. That I can make them surprised.
Dan inilah tahun 1988. Aku mengalami pengalaman terburuk justru di saat aku pertama kali mengikuti latihan Pramuka. Sikap Pembina dan Senior yang otoriter, rantai komando yang tidak dapat ditolerir seperti halnya militer, dan pembelajaran disiplin yang justru mematikan logika. Aku masih ingat saat Seniorku membentakku: "Jangan berpikir! Kamu di sini tidak boleh berpikir! Kamu harus melakukan apa yang aku suruh lakukan!" Belum lagi sikap diskriminatif yang aku terima, bahwa aku "berada di luar lingkaran mereka", "tidak mau berpikir seperti mereka", atau "tampil beda", membuat aku diperlakukan tidak sama. Bila ada penugasan yang "menguntungkan", maka penugasan itu diambil oleh Senior dan orang-orang yang terdekat dengan lingkaran Senior. Bila tidak menguntungkan, maka aku yang disuruh. Penugasan yang menguntungkan adalah penugasan yang membuat pelaksananya jadi pahlawan kalau berhasil, atau dilihat semua orang karena pentingnya tugas itu.
Semua itu terjadi 25 tahun yang lalu.
Sabtu,
14 Maret 2009
- Sebuah Perenungan
Satu tradisi kepanduan adalah berkemah. Dalam perkemahan selalu ada api unggun. Api unggun tidak hanya sekedar penerang perkemahan atau penghangat tubuh, tetapi juga tempat cerita dipertukarkan.
Kala kepanduan di Indonesia masih belum menjadi Pramuka, dan kala masih banyak pembina yang memegang teguh tradisi Baden Powell, api unggun selalu diramaikan oleh cerita-cerita perenungan. Semua berbagi cerita dalam api unggun, hingga akhirnya Pembina membagi cerita pengalamannya yang menjadi bahan pembelajaran bagi para Pandu yang mendengarkannya.
Waktu itu, para Pembina benar-benar kaya akan pengalaman dan telah memetik banyak pelajaran berharga dalam kehidupannya. Pelajaran hidup inilah yang menjadi inti dari acara api unggun dalam perkemahan kepanduan saat itu. Pelajaran hidup ini pula yang menjadi inti dari pendidikan kepanduan saat itu.
Dari cerita-cerita api unggun itulah para Pandu mengetahui siapa diri mereka, di mana mereka saat ini, dan mengapa mereka ada di sini.
Cerita-cerita api unggun itu juga menumbuhkan cita-cita dalam diri mereka dan membakar semangat dan motivasi hidup untuk mewujudkan cita-cita itu, berapapun pengorbanannya.
Keberhasilan kaum Pergerakan memperkenalkan konsep baru Kebangsaan Indonesia di kalangan remaja dan anak-anak negeri saat itu, juga tidak lepas dari peran cerita-cerita dalam setiap perkemahan kepanduan di hari Sabtu dan Minggu.
Pada acara api unggun ini para Pembina menyadarkan bahwa kaum pribumi bukanlah kaum kuli yang lemah, miskin, dan bodoh. Kaum pribumi mampu naik derajadnya bila mau berusaha dan tidak putus asa untuk belajar dan berjuang. Semangat perjuangan inilah yang tertanam pada setiap generasi pribumi, menggerakkan semangat kebangsaan, dan akhirnya memerdekakan negeri ini dari penjajahan.
Sayang sekali, seiring dengan meleburnya organisasi-organisasi kepanduan dalam Gerakan Pramuka, tradisi kecil ini pun meredup dan tersisa sebagai sebuah acara pesta kecil perpisahan saat akhir perkemahan. Tidak ada lagi cerita yang dituturkan, tidak ada lagi pengalaman hidup yang dibagi.
Api unggun hanya tersisa sebagai acara atraksi kesenian yang penuh dengan nyanyian, sumbangan tarian, dan ditutup dengan sama-sama menyanyikan "Auld Lang Syne" atau "KEMESRAAN".
Untunglah ada pembina yang masih mempertahankan tradisi pembelajaran Baden Powell dengan cara yang berbeda. Para Pembina ini membuat sebuah Renungan Malam sebelum akhir perkemahan di mana para Pramuka duduk bersila dalam gelap malam hanya ditemani oleh nyala sebatang lilin.
Pada acara renungan malam ini Pembina mulai menggugah kesadaran diri dan menanamkan motivasi serta pembelajaran diri. Walaupun kemudian acara renungan malam ini kemudian berubah lagi menjadi sebuah "HYPNOTICAL BRAIN-WASH" yang dilakukan oleh Pramuka senior terhadap Pramuka junior yang baru bergabung, tapi renungan malam ini mampu mengisi hilangnya makna acara api unggun perkemahan.
Tulisan ini dan beberapa seri tulisan selanjutnya juga akan dinamakan sebagai Renungan Malam. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, tulisan ini adalah sebuah refleksi dari keadaan yang ada sekarang, dari perkembangan yang ada saat ini. Sebagai sebuah refleksi maka segala yang baik dan yang buruk akan ditampakkan dan memang terkadang memerahkan telinga. Namun karena ini adalah sebuah perenungan, maka apabila benar itu buruk maka itu adalah sebuah titik awal proses perbaikan. Apabila benar itu baik, maka itu adalah awal dari perjuangan selanjutnya. Apabila tidak benar itu buruk, maka itulah yang nampak, dan mungkin keburukan itu tidak kita sadari. Apabila tidak benar itu baik, maka itu adalah titik penyadaran, untuk segera memperbaiki sebelum terlambat.
Kedua, sebagai perenungan maka tulisan ini bukanlah sebuah kumpulan teori ilmiah. Sekali lagi ini adalah sebuah refleksi, cerminan. Cerminan kita sebagai Pramuka. Memang tulisan ini akan mengundang tanggapan, dan tanggapan itu adalah maksud dari tulisan ini sebagai perenungan kita bersama.
Ketiga, tulisan ini bersifat otokritik, mengkritik diri sendiri. Ini adalah bagian dari sebuah diskursus, bagian dari sebuah proses dialektik. Ada tesis -- keadaan yang kita anggap ada saat ini, ada anti-tesis -- kenyataan sebenarnya yang dapat berbeda sepenuhnya, dan ada sintesis -- kesimpulan kita dan juga rencana aksi kita.
Keempat, akan ada usulan dan ide-ide dalam tulisan ini. Tapi ide-ide ini adalah bagian dari sebuah sintesa. Apabila ada usulan atau ide yang baik maka ide ini mungkin dapat diterapkan. Tapi baik atau tidaknya, diterapkan atau tidaknya, bukanlah hal yang penting, karena usulan ini adalah satu bagian dari sebuah perjalanan perenungan. Mungkin Anda juga memiliki ide tersendiri dari perenungan Anda tersendiri.
Satu tradisi kepanduan adalah berkemah. Dalam perkemahan selalu ada api unggun. Api unggun tidak hanya sekedar penerang perkemahan atau penghangat tubuh, tetapi juga tempat cerita dipertukarkan.
Kala kepanduan di Indonesia masih belum menjadi Pramuka, dan kala masih banyak pembina yang memegang teguh tradisi Baden Powell, api unggun selalu diramaikan oleh cerita-cerita perenungan. Semua berbagi cerita dalam api unggun, hingga akhirnya Pembina membagi cerita pengalamannya yang menjadi bahan pembelajaran bagi para Pandu yang mendengarkannya.
Waktu itu, para Pembina benar-benar kaya akan pengalaman dan telah memetik banyak pelajaran berharga dalam kehidupannya. Pelajaran hidup inilah yang menjadi inti dari acara api unggun dalam perkemahan kepanduan saat itu. Pelajaran hidup ini pula yang menjadi inti dari pendidikan kepanduan saat itu.
Dari cerita-cerita api unggun itulah para Pandu mengetahui siapa diri mereka, di mana mereka saat ini, dan mengapa mereka ada di sini.
Cerita-cerita api unggun itu juga menumbuhkan cita-cita dalam diri mereka dan membakar semangat dan motivasi hidup untuk mewujudkan cita-cita itu, berapapun pengorbanannya.
Keberhasilan kaum Pergerakan memperkenalkan konsep baru Kebangsaan Indonesia di kalangan remaja dan anak-anak negeri saat itu, juga tidak lepas dari peran cerita-cerita dalam setiap perkemahan kepanduan di hari Sabtu dan Minggu.
Pada acara api unggun ini para Pembina menyadarkan bahwa kaum pribumi bukanlah kaum kuli yang lemah, miskin, dan bodoh. Kaum pribumi mampu naik derajadnya bila mau berusaha dan tidak putus asa untuk belajar dan berjuang. Semangat perjuangan inilah yang tertanam pada setiap generasi pribumi, menggerakkan semangat kebangsaan, dan akhirnya memerdekakan negeri ini dari penjajahan.
Sayang sekali, seiring dengan meleburnya organisasi-organisasi kepanduan dalam Gerakan Pramuka, tradisi kecil ini pun meredup dan tersisa sebagai sebuah acara pesta kecil perpisahan saat akhir perkemahan. Tidak ada lagi cerita yang dituturkan, tidak ada lagi pengalaman hidup yang dibagi.
Api unggun hanya tersisa sebagai acara atraksi kesenian yang penuh dengan nyanyian, sumbangan tarian, dan ditutup dengan sama-sama menyanyikan "Auld Lang Syne" atau "KEMESRAAN".
Untunglah ada pembina yang masih mempertahankan tradisi pembelajaran Baden Powell dengan cara yang berbeda. Para Pembina ini membuat sebuah Renungan Malam sebelum akhir perkemahan di mana para Pramuka duduk bersila dalam gelap malam hanya ditemani oleh nyala sebatang lilin.
Pada acara renungan malam ini Pembina mulai menggugah kesadaran diri dan menanamkan motivasi serta pembelajaran diri. Walaupun kemudian acara renungan malam ini kemudian berubah lagi menjadi sebuah "HYPNOTICAL BRAIN-WASH" yang dilakukan oleh Pramuka senior terhadap Pramuka junior yang baru bergabung, tapi renungan malam ini mampu mengisi hilangnya makna acara api unggun perkemahan.
Tulisan ini dan beberapa seri tulisan selanjutnya juga akan dinamakan sebagai Renungan Malam. Ada beberapa alasan untuk itu.
Pertama, tulisan ini adalah sebuah refleksi dari keadaan yang ada sekarang, dari perkembangan yang ada saat ini. Sebagai sebuah refleksi maka segala yang baik dan yang buruk akan ditampakkan dan memang terkadang memerahkan telinga. Namun karena ini adalah sebuah perenungan, maka apabila benar itu buruk maka itu adalah sebuah titik awal proses perbaikan. Apabila benar itu baik, maka itu adalah awal dari perjuangan selanjutnya. Apabila tidak benar itu buruk, maka itulah yang nampak, dan mungkin keburukan itu tidak kita sadari. Apabila tidak benar itu baik, maka itu adalah titik penyadaran, untuk segera memperbaiki sebelum terlambat.
Kedua, sebagai perenungan maka tulisan ini bukanlah sebuah kumpulan teori ilmiah. Sekali lagi ini adalah sebuah refleksi, cerminan. Cerminan kita sebagai Pramuka. Memang tulisan ini akan mengundang tanggapan, dan tanggapan itu adalah maksud dari tulisan ini sebagai perenungan kita bersama.
Ketiga, tulisan ini bersifat otokritik, mengkritik diri sendiri. Ini adalah bagian dari sebuah diskursus, bagian dari sebuah proses dialektik. Ada tesis -- keadaan yang kita anggap ada saat ini, ada anti-tesis -- kenyataan sebenarnya yang dapat berbeda sepenuhnya, dan ada sintesis -- kesimpulan kita dan juga rencana aksi kita.
Keempat, akan ada usulan dan ide-ide dalam tulisan ini. Tapi ide-ide ini adalah bagian dari sebuah sintesa. Apabila ada usulan atau ide yang baik maka ide ini mungkin dapat diterapkan. Tapi baik atau tidaknya, diterapkan atau tidaknya, bukanlah hal yang penting, karena usulan ini adalah satu bagian dari sebuah perjalanan perenungan. Mungkin Anda juga memiliki ide tersendiri dari perenungan Anda tersendiri.
Tulisan ini mengambil Gerakan
Pramuka Pangkalan Universitas Airlangga hanya sebagai contoh, hanya karena saya
berasal dari Pangkalan tersebut. Tidak adil membuat sebuah perenungan dengan
mengambil pengalaman satu Pangkalan yang tidak pernah saya alami.
Silakan menanggapi, silakan membagi
renungan Anda, karena apapun itu maka itu akan jadi bagian perenungan dari
tulisan ini dan tulisan-tulisan selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar